Kamis, 11 Oktober 2012

Mengajar Dan Belajar


Biasanya jika seorang guru ditanya mengajar apa di sekolah, jawaban yang umum ialah; mengajar bahasa, mengajar matematika, mengajar bidang studi yang lain. Akan terdengar aneh sekali bila jawaban yang diberikan adalah mengajar belajar.
Mengajar secara umum adalah menyampaikan informasi dan memindahkan pengetahuan dari pengajar (guru) kepada pelajar (siswa). Didalamnya ada proses agar siswa yang tadinya tidak mengerti jadi mengerti, yang tidak paham menjadi paham. Inilah yang pada umumnya masih dilakukan oleh para guru di sekolah sampai saat ini, meskipun sebenarnya tugas seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi sekaligus mendidik. Namun tuntutan pasar menjadikan posisi mengajarnya lebih mendominasi bidang tugasnya. Ini bisa dimengerti mengingat tuntutan masyarakat sebagai konsumen agar sekolah mampu mencetak siswa-siswa yang pandai begitu besar. Jadi mau tak mau aspek mengajar itu kemudian lebih mengemuka.
Dewasa ini memang terlihat adanya fenomena bahwa prestasi seseorang yang lebih dihargai adalah prestasi akademiknya. Prestasi akademiknya ditempatkan diatas segalanya. Buku rapor atau ijasah yang dihiasi angka-angka tinggi menjadi kebanggaan dan sangat didewa-dewakan siswa dan orang tua murid. Seakan dengan prestasi dan angka-angka itu masa depan mereka telah terjamin. Itulah sebabnya lembaga pendidikan, sekolah yang semestinya membekali siswa dengan rupa-rupa kecakapan (life skill) guna menghadapi masa depan dengan permasalahannya yang sangat kompleks berubah menjadi lembaga yang hanya bertugas mencetak anak-anak pandai.
Memenuhi tuntutan mencetak anak pandai tentu bukan pekerjaan yang mudah, mengingat anak akan menjadi pandai atau tidak sangat tergantung banyak faktor. Sebut saja guru, orang tua, lingkungan, masyarakat, dan anak itu sendiri. Disamping itu seringkali kriteria yang dipergunakan orang tua untuk menentukan seorang anak pandai atau tidak juga sangat sederhana. Asal anak sudah lulus ujian, sudah dapat dikategorikan pandai tanpa memperdulikan berapa nilai yang diperoleh.
Membuat siswa mau dan senang belajar adalah tujuan kegiatan pembelajaran di sekolah. Barangkali itu sebabnya setelah perhelatan Ujian Nasional usai, sering seorang guru menjadi stres karena hasil ujian siswanya rendah, atau prosentase kelulusan siswanya tidak mencapai harapan. Mungkin mereka merasa ngeri dan mengganggu keberadaan posisinya sebagai pendidik, takut disebut sebagai guru yang tidak berhasil mengajar murid. Itulah sebenarnya permasalahan yang menjadi beban umumnya para guru.
Untuk mengatasi semua itu guru dan kepala sekolah mengambil jalan pintas agar bagaimana caranya untuk bisa mendongkrak nilai perolehan siswanya. Yang paling populer adalah mengedril siswa dengan kumpulan soal-soal ujian. Sudah bukan rahasia lagi jika menjelang pelaksanaan UN banyak sekolah yang melaksanakan kegiatan belajarnya dengan sistem dril. Tidak ada lagi apa yang disebut pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, efektif, apalagi inovatif.
Seluruh sumberdaya sekolah dipersiapkan dan diarahkan untuk menghadapi UN. Pembelajaran sepenuhnya difokuskan untuk meraih prosentase lulusan yang tinggi, bahkan kalau mungkin dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran yang diujikan bisa membanggakan. Tidak berarti bahwa guru tidak mengetahui kelemahan sistem dril, tetapi cara ini tetap dipertahankan semata agar dapat bersaing dengan sekolah lain, terutama dalam UN.
Pembelajaran Intimidasi
Dengan diberlakukannya kurikulum 2006 yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru diberi kebebasan mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Karenanya sudah bukan saatnya lagi guru memaksakan pengetahuannya kepada siswa. Pembelajaran seperti itu menempakan siswa hanya sebagai obyek. Siswa tidak dihargai sebagaimana individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan untuk mengembangkan potensi intelektual maupun kepribadiannya. Model pembelajaran yang menggunakan cara-cara instan, sistem lembur dengan mengharap hasil bagus dan cepat tanpa mengindahkan prosedur pembelajaran semestinya, sesungguhnya bersifat intimidatif. Bagaimana tidak mengintimidasi, jika siswa senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal nilai tertentu yang menjadi standar kelulusan atau kenaikan kelas. Akibatnya siswa mengikut pembelajaran dibawah bayang-byang ancaman, ketakutan dan was-was, terutama menjelang UN yang dianggap sangat menentukan keberhasilan siswa dalam 3 tahun sekolah.
Pembelajaran Partisipatif
Apabila dengan pembelajaran intimidatif tadi siswa merasa terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran, kini sudah saatnya guru memikirkan dan menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi keberadaan siswa. Salah satu alternatifnya adalah model pembelajaran yang bersifat partisipatif. Disini siswa dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan dan mencari bahan/materi dari bermacam sumber yang akan dipelajari. Pendapat siswa Mengenai metode dan cara bagaimana yang dapat mempermudah siswa menguasai materi pelajaran juga perlu didengar oleh pendidik. Begitu pula evaluasinya, siswa diajak ikut serta menentukan apakah tujuan mempelajari suatu materi telah tercapai serta langkah apa yang akan dilakukan untuk lebih memantapkan penguasaan pengetahuan siswa. Pada dasarnya dalam pembelajaran ini murid betul-betul ditempatkan sebagai subyek yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan serta arahan. Peran guru tidak boleh dan tidak bisa memaksakan kehendaknya menjejali siswa dengan rupa-rupa materi, bagaikan botol kosong yang terus diisi hingga penuh.
Dengan menerapkan pembelajaran model partisipatif, siswa akan merasa diperhatikan dan dihargai sebagai individu yang sedang belajar. Siswa tentu akan merasa senang, dan kondisi ini akan sangat mendukung tumbuhnya kesadaran, keinginan dan kemauannya untuk lebih giat belajar. Menjadikan murid mau dan senang belajar itulah tujuan pokok kegiatan pembelajaran di sekolah yang seyogyanya diciptakan oleh guru. Sebab hasrat belajar merupakan kondisi yang harus ada jika guru menginginkan murid bisa menyerap serta mengauasai materi pelajaran yang diberikan.
Mengakhiri tulisan ini saya teringat pada Totto-chan si gadis kecil di tepi jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi tahun 1985 yang saya peroleh pada waktu melaksanakan studi banding selama 2 bulan di Jepang bersama kawan-kawan Guru Teladan Nasional dari TK, SD, SLTP, SLTA dan Dosen Teladan Perguruan tinggi atas biaya dari Japan Foundation.
Buku ini mengisahkan pengalaman pribadi Tetsuko yang akrab dipanggil Totto sewaktu belajar di sekolah Tomoe. Dikisahkan bagaimana senangnya Totto menjalani hari-hari belajarnya disana karena sekolah itu sangat mengerti dan menghargai keinginan dan kebutuhan siswanya. Tanpa disadari, di sekolah itu Totto dan teman-temannya tidak hanya belajar rupa-rupa pelajaran seperti: bahasa, mengarang, ilmu matematika, fisika, menggambar, tetapi sekaligus belajar kebersamaan, tanggung jawab, toleransi, kasih sayang, keberanian serta nilai-nilai lain yang sangat diperlukan dalam kehidupan nyata. Contoh; pendidikan di Jepang seluruh siswa diajar menghormati orang yang lebih dewasa, yang usianya lebih tua, kecuali diwujudkan dengan aura diawajahnya, anak-anak di Jepang meragakan dengan mengangguk berulang kali dengan anggota tangan di depan (ngapurancang). Kepada orang tua dan keluarga yang sudah meninggal, agama Shinto mengajak para keturunan yang masih hidup mendoakan arwahnya. Sampai sekarang masih ada kebiasaan orang Jepang jika melintasi makam Kaisar Hirohito, para pejalan kaki kadang berhenti sejenak untuk menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Itulah buah dari pembelajaran partisipatif yang tentunya tidak diperoleh jika pembelajaran di sekolah tetap menerapkan model pembelajaran sentralistik serta intimidatif. Barangkali ada baiknya pemerintah memfasilitasi para guru di negara tercinta ini belajar dan meluangkan waktu untuk melihat dari dekat tentang pendidikan di Singapura, Malaysia dan Jepang. Lebih pas lagi kalau bersama dengan anggota DPRD yang membidangi pendidikan.
Untuk urusan Asean kita melihat Singapura dan Malaysia terbukti telah mampu membangun sektor pendidikan, dan berdampak pada peningkatan sumber daya manusia di berbagai bidang.
Sekedar menarik kesimpulan apa salahnya para guru di Indonesia belajar kepada “Pak guru Kobayashi” (tokoh guru dalam Totto-Chan) adalah guru yang mengajar belajar – yang begitu mencintai, mengerti, memahami, dan menghargai keinginan serta kebutuhan siswa, agar mereka bisa menikmati hari-hari belajar di sekolah yang menyenangkan, jauh dari bayang-bayang ancaman dan ketakutan.
Pak Kobayashi dalam bukunya juga menceritakan, hari-hari pada jam belajar di sekolah, siswa diajak berdiskusi tentang suatu permasalahan dan cara mengatasinya. Merangsang ide anak untuk menumbuhkan gagasan hingga berargumentasi ketat, para pembimbing memandu dengan senang dan terbuka tanpa memihak kelompok manapun.
Belajar berdemokrasi sekolah-sekolah di Jepang telah memulai sejak Taman Kanak-Kanak, melalui guru bagaimana ketika di kelas akan dipasang hiasan warna-warni. Guru memimpin seluruh siswa dengan menawarkan siapa yang suka dengan warna-warna tertentu, anak disuruh tunjuk jari, kemudian diskor oleh guru, yang terbanyak ditetapkan sebagai penentu warna yang akan dipasang di dinding.

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

SDN Panjang Wetan 01 Pekalongan. Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites