Rasanya aneh dan kikuk membuat tulisan dengan judul seperti di atas. Mungkin kalau diganti bahasa iklan akan menjadi: ”Hari gini, baru bicara format pendidikan…?!!”
Bagaimana tidak aneh, undang-undang yang mengatur pendidikan sudah berkali-kali diperbarui, terakhir UU No 20 Th 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan pemerintah untuk mendukung aplikasi dari undang-undang tersebut sebagian kecil juga sudah dikeluarkan –masih banyak PP yang belum dibuat–. Bahkan, dengan semangat entah apa, Pemkot Pekalongan telah membuat Perda Pendidikan.
Seharusnya, dengan piranti hukum yang sudah tersedia tersebut, pendidikan semestinya akan berjalan sebagaimana aturan yang telah di undangkan atau di perda-kan, sehingga, membahas format pendidikan sudah tidak dibutuhkan dan akanout of date (kadaluwarsa).
Tetapi anehnya, judul ini penulis peroleh dari usulan seorang pemegang kebijakan pendidikan yang akan menggelar seminar. Salah satu tema yang disodorkan adalah Format Pendidikan Kota Pekalongan. Lho, emangnya pendidikan perlu diformat ulang atau gimana?
Saya jadi ingat istilah format pada saat awal kuliah di jurusan komputer. Memformat disk atau memformat hardisk berarti menghapus seluruh isi yang ada di dalam disk/hardisk untuk disk/hardisk yang sudah ada isinya. Untuk disk/hardisk baru, memformat dapat diartikan sebagai pembuka kunci agar disk/hardisk tersebut dapat dipakai. Kalau tidak diformat terlebih dahulu, maka user tidak dapat memakai disk/hardisk.
Kalau pemahaman format dalam kalimat Format Pendidikan diartikan sebagaimana pekerjaan memformat disk/hardisk, bukankah itu kata lain dari kiamat di dunia pendidikan?. Bayangkan, seluruh piranti yang ada dianggap tidak ada (karena dihapus), semuanya di tata ulang kembali, sebagaimana seorang user menginstal hardisknya dengan program-program baru, setelah memformatnya.
Sampai disini, penulis jadi ragu melanjutkan tulisan ini. Apa benar format pendidikan yang dikehendaki oleh pemegang kekuasaan itu sebagaimana memformat disk/hardisk seperti gambaran di atas? Kalau benar, sudah siapkah posisinya digeser karena kebijakan tersebut berarti revolusi dunia pendidikan di Kota Pekalongan, yang sudah bakal tentu akan ada banyak pihak yang keberatan? Lantas kalau digeser, siapa yang melanjutkan tugas pemformatan? Lalu….. tiba-tiba segunung pertanyaan menumpuk dan tidak mungkin penulis sampaikan satu per satu di sini, yang jelas semuanya bernada pesimisme.
Tapi, jangan-jangan maksudnya memang begitu? Dengan mencoba berpikir positif, penulis menduga bahwa munculnya kalimat itu dari akumulasi keresahan seorang pemegang kekuasaan dalam memandang dunia pendidikan selama ini, khususnya di Kota Pekalongan.
Praktek KKN dalam setiap proyek pendidikan, baik DAK maupun sejenisnya, sudah begitu menggurita, sampai-sampai tidak diketahui mana kaki, mana kepalanya. Begitu juga praktek-praktek pembohongan pendidikan yang dilakukan justru oleh para guru, terutama menjelang kelulusan dan kenaikan kelas. Suasananya hampir mirip dengan lomba strategi menaikan/meluluskan siswa. Seluruh energi dikerahkan, seluruh daya dioptimalkan, demi mengejar gelar ”sekolah dengan kelulusan tinggi atau sekolah dengan angka ketidaknaikan rendah”. Semakin kecil siswa yang tidak naik/tidak lulus, sekolah itu menjadi juara. Persoalan caranya adalah baik atau buruk, halal atau haram, hampir-hampir tidak ada yang menyoal. Dari pejabat sampai tukang becak, semuanya acung jempol untuk sekolah itu, tanpa pernah ingin mengetahui caranya memperoleh kesuksesan.
Belum lagi menghadapi intervensi ”kekuasaan” yang jelas-jelas tidak bakal mungkin ditolaknya. Otonomi pendidikan memang telah memberikan peran seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan pendidikan. Pemaknaan peran seluas-luasnya ini yang kadang kebablasan atau justu malah terlalu hati-hati hingga tidak dapat bergerak apa-apa.
Soal biaya pendidikan misalnya. Tiap tahun selalu berulang keluhan orang tua/ wali murid tentang biaya pendidikan. Padahal di Jembrana Bali bisa membebaskan warganya dari biaya pendidikan dari SD sampai SMA. Kalau dilihat dari PAD nya tidak jauh berbeda dengan Kota Pekalongan.
Mungkin saya perlu beratus-ratus lembar untuk dapat menuliskan keresahan pemegang kekuasaan itu dalam melihat dunia pendidikan di Kota Pekalongan, sehingga dia mengusulkan untuk mengadakan seminar dengan judul Format Pendidikan di Kota Pekalongan.
0 komentar:
Posting Komentar